NIAT ENSOON MATEK AJIII.....SMAR NGISENG!

Bapak aku Jawa. Mak aku Mengkulu.
So..aku nih ape?
Jakulu....Mengkuwa...Walu...kekeekkee!

Recently, I stumbled upon this piece of article, mengenai salah
satu adat resam orang-orang Jawa di Jakarta Timur. Interesting!

Pernah dengar mengenai 'Anak Sukerto'?
Aku pun baru jer dengar. Aku try nak cross reference dengan bapak aku yang supposedly Jawa…hampa, hampeh, haram tak tau apa pun!
Anak anak Sukerto, menurut kepercayaan Jawa, adalah anak-anak yang ditakdir membawa malapetaka since birth. Imagine...lahir-lahir jer, dah kena label sial, celaka, takda ong. Berat!

Menurut Pustaka Raja Purwa, karya pujangga R. Ng ranggawarsito, ada 136 types of Sukerta. Antaranya:

- Ontang-Anting (anak tunggal lelaki)
- Unting-unting (anak tunggal perempuan)
- Gotong Mayit (anak perempuan tiga semuanya..errkk..macak kitorang adik beradik!)
- Cemani (anak yang lahir gelap kulitnya)
- Wungle (anak albino)
- Jempina (anak lahir premature)

Etc..etc…etc….byk sioot!!

Mengikut cerita Jawa kuno, anak-anak Sukerto (AAS) ini telah dijanjikan oleh Sang Hyang Betara Guru kepada Batara Kala untuk menjadi santapannya.
Siapa Batara Kala nih? Batara Kala nih anak luar nikah kepada Batara Guru. Batara Guru telah melampiaskan nafsu syahwat kepada Dewi Uma. Sperm dia jatuh ketengah laut lalu menjelma menjadi raksaksa iaitu Batara Kala. And then, Batara Kala lapar. Dia mintak makan kat bapak dia, Batara Guru (tak tau malu betol…raksaksa bleh tak tau carik makan …hisshh).
Bapak dia cakap:
“Ko gi makan manusia yang berdosa atau sukerto”.
Haaa…macam tu lahh kisah seorang anak yang berduka nestapa kerana bapaknyer kedekuutt….
Maka, untuk tidak menjadi makanan raksaksa nih, AAS harus menjalani rawatan, pembersihan rohani dan jasmani.





Setiap tahun, pada 1 Suro (Rejab), upacara rawatan untuk AAS akan diadakan secara berkumpulan.
Mereka akan dipakaikan balutan kain serba putih, bukan ikat pocong tau, ikat ala-ala sari. Then, mereka berarak bersama parents masing-masing sambil diiringi oleh bunyian Gending Ladrang Gati Podosih (bunyian gendang tradisi Jawa) ke arah pendopo (heemm…mengikut kata cleaner office aku, Cik Koriah, pendopo nih macam tempat berkumpul – ruang legar, bilik mesyuarat, balai raya).

Procession dipimpin oleh seorang manggolo (ketua upacara) bersama cowok-cowok ganteng yang berpakaian tradisional Jawa yang membawa sajian-sajian untuk upacara rawatan nanti.
Seterusnya, Sang Manggolo, menyerahkan AAS beserta sajian-sajian kepada Ki Dalang (Tok Dalang) iaitu orang yang akan memimpin upacara rawatan itu. Selesai upacara penyerahan, AAS dikehendaki untuk memohon maaf dan restu daripada parents…hati mau ikhlas babes!
Dah dapat blessing from orang tua masing-masing, AAS bergerak ke tengah pendopo yang di lapik dengan kain putih ditebari dengan bunga-bunga.
Ceehh….real jeerr! Macam Puteri zaman purba!




Now, AAS is ready for the cleansing ceremony.

First, they need, must, wajib nonton wayang kulit selama lebih kurang 3 jam. 3 jam tau!
Cannot sleep one! Title wayang nih is ‘Murwokolo’, cerita yang berkisarkan tentang raksaksa favourite aku, Batara Kala. 3 jam….torture!
Here’s the thing about masyarakat Jawa. Wayang Kulit has been apart of their culture for generations, diwarisi secara turun temurun. Ianya bukan hanya sekadar tontonan semata-mata, tetapi cerita-cerita yang di paparkan menjadi asas pedoman hidup – what you should or should not do. Not just that, Wayang Kulit also dijadikan perantaraan, medium, yang boleh digunakan untuk tujuan pembebasan dan penyucian jasmani dan rohani manusia atas dosanya.
Hence, AAS must not only watch the wayang, but also must be able to recognize that:

1) It is bloody wrong to have unprotected sex and leave your mess dripping around!

2) It is very irresposible for a father not to feed their young ones (walaupun seekor raksaksa) let alone encouraging them to makan orang….so not kewl!

Pelbagai jenis perlengkapan dan offering yang harus disediakan untuk upacara menonton wayang kulit nih seperti:
-Gamelan
-Kain layar
-Blencong (lampu minyak)
-pisang raja dengan pokok dia sekali (diikat di tiang pintu)
-Api kemenyan
-nasi wuduk (nasi lemak) dengan ikan masin, sayur ulam, cili merah, cili hijau, etcc..etc..
-bermacam-macam jenis bubur.
-buah-buahan

Actually, banyak lagi, tapi Kori (cleaner aku) tak bleh nak translate bahan rujukan yang aku ada nih. Minah Indon celup…dah lupa daratan la tuh!

Anyways..pada acara puncak pertunjukan wayang, Ki Dalang akan melagukan sebuah kidung (syair) dan pada masa ini juga, AAS akan dipisahkan dari ibu bapa mereka. This whole separation scene is actually serves as a metaphor - pisahkan anak & family equals to pisahkan diri from ongoing malapetaka.

At the end of the wayang show, AAS harus melakukan Getakan, an act where one must pijak bambu or batang buluh yang dah dkerat-kerat secara serentak. This is also a metaphor - hancurkan, musnahkan, luputkan semua kesialan dan kecelakaan yang menimpa! Fuuhh...dramatik sunguh!

Then, all AAS were ushered to the siraman area. Di tempat siraman, Ki Dalang akan menggunting rambut AAS dan memberikan siraman pertama dan kemudian continued by their parents.
Setelah upacara siraman, AAS will change their outfit (logic aarr…dah basah!). Kain putih yang diorang pakai, other perlengkapan yang digunakan semasa upacara rawatan along with the rambut yang dah dipotong akan dihanyutkan kat laut mengarah ke Selatan.

That, ladies and gentlemen, signifies the end of the whole rawatan process. Finally rid of all the sials and bad lucks! Pheww!!

Dengan semangat keJawaan yang penuh membara, I put forth a suggestion to my father, to organize the above ceremony for masyarakat Jawa kat Malaya nih. Tak pun untuk family dia especially anak-anak dia..ngeeh..ngehh..especially for me!

His reply:

"Syirik....nak mintak tolong, minta terus dari Allah...sendiri doa!"

Sentap lagi....

*Special thanks to Koriah, cleaner office aku, yang begitu sabar melayan karenah aku, tolong aku translate dan bagi aku paham article nih. Nanti aku belanja teh tarik!